Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai
(1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami
istri (dengan resmi); (2) perkawinan. Al-Quran menggunakan
kata ini untuk makna tersebut, di samping secara majazi
diartikannya dengan "hubungan seks". Kata ini dalam berbagai
bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada
mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".
Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yang
berarti "pasangan" untuk makna di atas. Ini karena pernikahan
menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam
berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80
kali.
Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untuk
menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah.
Memang ada juga kata wahabat (yang berarti "memberi")
digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang
wanita kepada Nabi Saw., dan menyerahkan dirinya untuk
dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi
Nabi Saw. (QS Al-Ahzab [33]: 50).
Kata-kata ini, mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya
dengan ijab kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akan
dijelaskan kemudian.
Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan ketetapan
Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini
ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:
Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar
kamu menyadari (kebesaran Allah) (QS Al-Dzariyat [51]:
49).
Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan,
baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dan jenis mereka
(manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak
mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).
BERPASANGAN ADALAH FITRAH
Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan
dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu,
agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan
wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga
terlaksananya "perkawinan", dan beralihlah kerisauan pria dan
wanita menjadi ketenteraman atau sakinah dalam istilah
Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21. Sakinah terambil dari akar
kata sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah
bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin
karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih
tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah
--karena perkawinan-- adalah ketenangan yang dinamis dan
aktif, tidak seperti kematian binatang.
Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain menekankan perlunya
kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah.
Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di
bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang: "Kalau mereka
(calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan
mereka kaya (berkecukupan) berkat anugerah-Nya" (QS An-Nur
[24]: 31). Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan
untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya "Hendaklah
mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri, hingga Allah
menganugerahkan mereka kemampuan" (QS An-Nur [24]: 33)
Di sisi lain perlu juga dicatat, bahwa walaupun Al-Quran
menegaskan bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan
Ilahi bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasul menegaskan bahwa
"nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam saat yang sama Al-Quran
dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus
diindahkan --lebih-lebih karena masyarakat yang ditemuinya
melakukan praktek-praktek yang amat berbahaya serta melanggar
nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara
paksa istri mendiang ayah (ibu tiri) (QS Al-Nisa' [4]: 19).
Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan di atas turun,
masih ada yang mengawini mereka atas dasar suka sama suka
sampai dengan turunnya surat Al-Nisa' [4]: 22 yang secara
tegas menyatakan.
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah
dinikahi oleh ayahmu tetapi apa yang telah lalu
(dimaafkan oleh Allah).
Imam Bukhari meriwayatkan melalui istri Nabi, Aisyah, bahwa
pada masa Jahiliah, dikenal empat macam pernikahan. Pertama,
pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan
kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah. Kedua,
adalah seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya
apabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan seks)
dengan seseorang, dan bila ia telah hamil, maka ia kembali
untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat keturunan
yang baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh
orang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil
kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok
tersebut --tidak dapat absen-- kemudian ia menunjuk salah
seorang pun yang seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan
kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh
mengelak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita
tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu
kediaman mereka dan "bercampur" dengan siapa pun yang suka
kepadanya. Kemudian Islam datang melarang cara perkawinan
tersebut kecuali cara yang pertama.
SIAPA YANG TIDAK BOLEH DINIKAHI?
Al-Quran tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang
dikawini, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera
masing-masing:
Maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari
wanita-wanita (QS An-Nisa [4]: 3)
Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw. menyatakan,
Biasanya wanita dinikahi karena hartanya, atau
keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya.
Jatuhkan pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau
tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu
Hurairah).
Di tempat lain, Al-Quran memberikan petunjuk, bahwa
Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
1aki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).
Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26,
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita
yang keji. Dan Wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah
untuk wanita-wanita yang baik (pu1a).
Al-Quran merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini seorang
laki-laki.
Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara
perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua),
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan juga
bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita
yang bersuami (QS Al-Nisa' [4]: 23-24).
Kalaulah larangan mengawini istri orang lain merupakan sesuatu
yang dapat dimengerti, maka mengapa selain itu --yang disebut
di atas-- juga diharamkan? Di sini berbagai jawaban dapat
dikemukakan.
Ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat,
dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada
juga yang meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan
kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau
perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antar suami istri.
Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas,
berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang
kesemuanya harus dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang
memahami larangan perkawõnan antara kerabat sebagai upaya
Al-Quran memperluas hubungan antarkeluarga lain dalam rangka
mengukuhkan satu masyarakat.
PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA
Al-Quran juga secara tegas melarang perkawinan dengan orang
musyrik seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2):
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman.
Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak
menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya
kepada laki-laki musyrik.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman
(QS A1-Baqarah [2]: 221).
Menurut sementara ulama walaupun ada ayat yang membolehkan
perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut
agama Yahudi dan Kristen), yakni surat Al-Maidah (51: 5 yang
menyatakan,
Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini)
wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang
beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara
orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) (QS
Al-Ma-idah [5]: 5).
Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah
ayat 221 di atas. Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan
mengatakan:
"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan
kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya
adaLah Isa atau salah seorang dari hamba Allah."
Pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi dan
ulama. Mereka tetap berpegang kepada teks ayat yang
membolehkan perkawinan semacam itu, dan menyatakan bahwa
walaupun aqidah Ketuhanan ajaran Yahudi dan Kristen tidak
sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi Al-Quran tidak
menamai mereka yang menganut Kristen dan Yahudi sebagai
orang-orang musyrik. Firman Allah dalam surat A1-Bayyinah
(98): 1 dijadikan salah satu alasannya.
Orang kafir yang terdiri dari Ahl Al-Kitab dan
Al-Musyrikin (menyatakan bahwa) mereka tidak akan
meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka
bukti yang nyata (QS. Al-Bayyinah [98]: 1).
Ayat ini menjadikan orang kafir terbagi dalam dua kelompok
berbeda, yaitu Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin. Perbedaan ini
dipahami dari kata "wa" yang diterjemahkan "dan", yang oleh
pakar bahasa dinyatakan sebagai mengandung makna "menghimpun
dua hal yang berbeda."
Larangan mengawinkan perempuan Muslimah dengan pria non-Muslim
--termasuk pria Ahl Al-Kitab-- diisyaratkan oleh Al-Quran.
Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah (2): 221 di
atas, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria
Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dan sedikit pun tidak
menyinggung sebaliknya. Sehingga, seandainya pernikahan
semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan
menegaskannya.
Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu
agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah
dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram
jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan
istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya,
atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan
istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan
perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu
bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika
itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s.
adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang
biasanya lebih kuat dari wanita --jika beragama Islam-- dapat
mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan
melaksanakan syariat agamanya,
Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun
[109]: 6).
Ini berbeda dengan Ahl Al-Kitab yang tidak mengakui Muhammad
Saw. sebagai nabi.
Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang
membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga
berbeda pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini,
serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis
cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga
kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun
yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu,
adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai
"wal muhshanat minal ladzina utul kitab". Kata al-muhshnnat di
sini berarti wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga
kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan
Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata
utuw yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan
pemberian yang agung lagi terhormat. [1] Itu sebabnya ayat
tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana
dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran
Yahudi dan Kristen.
Pada akhirnya betapapun berbeda pendapat ulama tentang boleh
tidaknya perkawinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl Al-Kitab,
namun seperti tulis Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya.
[2]
Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan
kaidah syar'iyah yang normal, yaitu bahwa suami
memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri,
serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap
keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami
Muslim --berdasarkan hak kepemimpinan yang
disandangnya-- untuk mendidik anak-anak dan keluarganya
dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini
non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu
membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga
terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya
terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik
yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat
lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam
secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari
dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan
beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak
kurang sebaik istri.
Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang
dilukiskan di atas tidak terpenuhi --sebagaimana sering
terjadi pada masa kini-- maka ulama sepakat untuk tidak
membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya
membolehkan.
---------------- (bersambung 2/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.ne
Comments