PERTANYAAN
Saya telah membaca tulisan Ustadz yang membela cadar dan
menyangkal pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa cadar
itu bid'ah, tradisi luar yang masuk ke dalam masyarakat
Islam, dan sama sekali bukan dari ajaran Islam. Ustadz juga
menjelaskan bahwa pendapat yang mewajibkan cadar bagi
wanita itu terdapat dalam fiqih Islam. Anda bersikap moderat
terhadap persoalan cadar dan wanita-wanita bercadar,
meskipun kami tahu Anda tidak mewajibkan cadar
Sekarang kami mengharap kepada Anda - sebagaimana Anda telah
bersikap moderat mengenai wanita bercadar ini dari wanita
yang suka buka-bukaan, yang suka membuka aurat - agar Anda
bersikap moderat terhadap kami yang berjilbab (tetapi tidak
bercadar) dan saudara-saudara kami yang bercadar, termasuk
terhadap kawan-kawan mereka yang selalu menyerukan cadar.
Mereka yang dari waktu ke waktu tidak henti-hentinya
menjelek-jelekkan kami, karena kami tidak menutup wajah.
Mereka beranggapan bahwa yang demikian itu mengundang fitnah
karena wajah merupakan pusat keindahan (kecantikan). Oleh
sebab itu, mereka berpendapat bahwa kami telah menentang
Al-Qur'an dan As-Sunnah serta petunjuk salaf karena kami
membiarkan wajah terbuka.
Kadang-kadang celaan ini dialamatkan kepada Anda sendiri,
karena Anda membela hijab (jilbab) dan tidak membela cadar.
Demikian pula yang dialamatkan kepada Fadhilah asy-Syekh
Muhammad al-Ghazali. Beberapa ulama mengemukakan sanggahan
terhadap beliau melalui beberapa surat kabar di
negara-negara Teluk.
Kami harap Anda tidak menyuruh kami untuk membaca kembali
tulisan Anda dalam kitab al-Halal wal-Haram fil-lslam dan
kitab Fatawi Mu'ashirah meskipun dalam kedua kitab tersebut
sudah terdapat keterangan yang memadai. Namun, kami masih
menginginkan tambahan penjelasan lagi untuk memantapkan
hujjah, menerangi jalan, menghilangkan udzur, menghapuskan
keraguan dengan keyakinan, serta untuk menghentikan polemik
dan perdebatan yang terus berlangsung mengenai masalah ini.
Semoga Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan tulisan
Anda.
JAWABAN
Tidak ada alasan bagi saya untuk diam dan merasa cukup
dengan apa yang pernah saya tulis sebelumnya.
Saya tahu bahwa perdebatan mengenai masalah-masalah
khilafiyah itu tidak akan selesai dengan adanya
makalah-makalah dan tulisan-tulisan lepas, bahkan dalam
bentuk sebuah buku (kitab) sekalipun.
Selama sebab-sebab perbedaan pendapat itu masih ada, maka
ikhtilaf (perbedaan pendapat) itu akan senantiasa ada
diantara manusia, meskipun mereka sama-sama muslim, patuh
pada agamanya, dan ikhlas.
Bahkan kadang-kadang komitmen dan keikhlasan terhadap agama
menyebabkan perbedaan pendapat itu semakin tajam.
Masing-masing pihak ingin mengunggulkan dan memberlakukan
pendapat yang diyakininya benar sebagai ajaran agama yang
akan diperhitungkan dengan mendapatkan pahala (bagi yang
melaksanakannya) atau mendapatkan hukuman (bagi yang
melanggarnya).
Perbedaan pendapat itu akan terus berlangsung selama
nash-nashnya sendiri - yang merupakan sumber penggalian
hukum - masih menerima kemungkinan perbedaan pendapat
tentang periwayatan dan petunjuknya, selama pemahaman dan
kemampuan manusia untuk mengistimbath (menggali dan
mengeluarkan) hukum masih berbeda-beda, dan sepanjang masih
ada kemungkinan untuk mengambil zhahir nash atau
kandungannya, yang tersurat atau yang tersirat, yang
rukhshah (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum
asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah.
Perbedaan pendapat akan senantiasa muncul selama manusia
masih ada yang bersikap ketat seperti Ibnu Umar dan ada yang
bersikap longgar seperti Ibnu Abbas; dan selama diantara
mereka masih ada orang yang menunaikan shalat ashar di
tengah jalan dan ada yang tidak menunaikannya melainkan di
perkampungan Bani Quraizhah (setelah sampai di sana).
Adalah merupakan rahmat Allah bahwa perbedaan pendapat
seperti ini tidak terlarang dan bukan perbuatan dosa, dan
orang yang keliru dalam berijtihad ini dimaafkan bahkan
mendapat pahala satu. Bahkan ada orang yang mengatakan,
"Tidak ada yang salah dalam ijtihad-ijtihad furu'iyah ini,
semuanya benar."
Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik juga sering berbeda pendapat antara yang satu dengan
yang lain mengenai masalah-masalah furu' (cabang) dalam
agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai bahaya.
Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di
belakang sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari.
Dengan menyadari bahwa perbedaan pendapat itu akan
senantiasa ada, maka saya harus menjawab pertanyaan ini, dan
saya akan mengulangi tema tersebut dengan menambahkan
penjelasan. Mudah-mudahan Allah memberi taufik kepada saya
hingga mampu mengungkapkan perkataan yang benar, yang dapat
memutuskan perselisihan atau - minimal - mengurangi
ketajamannya, yang melunakkan kekerasannya sehingga hati
wanita yang berhijab (tetapi tidak bercadar) merasa riang
dan memudahkan urusan bagi yang mengumandangkan cadar (untuk
memakainya).
MEMPERLIHATKAN MUKA DAN TANGAN MENURUT PENDAPAT JUMHUR ULAMA
Ingin segera saya tegaskan disini tentang suatu hakikat yang
sebenarnya sudah tidak perlu penegasan, karena di kalangan
ahli ilmu hal itu sudah terkenal dan tidak samar lagi, sudah
masyhur dan tidak asing lagi, yaitu bahwa pendapat tentang
tidak wajibnya memakai cadar serta bolehnya membuka wajah
dan kedua telapak tangan bagi wanita muslimah di depan
laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah pendapat jumhur
fuqaha umat semenjak zaman sahabat r.a..
Karena itu tidak perlu dipertengkarkan, sebagaimana yang
ditimbulkan oleh sebagian yang ikhlas tetapi tidak berilmu
dan oleh sebagian pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat
terhadap pendapat yang dikemukakan seorang da'i kondang
Syekh Muhammad al-Ghazali dalam beberapa buku dan
makalahnya. Mereka beranggapan seakan-akan beliau membawa
bid'ah atau pendapat baru, padahal sebenarnya apa yang
beliau kemukakan itu merupakan pendapat imam-imam yang
mu'tabar dan fuqaha yang andal, sebagaimana yang akan saya
jelaskan kemudian. Selain itu, apa yang beliau kemukakan
merupakan pendapat yang didukung oleh dalil-dalil dan atsar,
disandarkan pada penalaran dan i'tibar, dan didukung pula
oleh realitas dalam beberapa zaman.
MAZHAB HANAFI
Dalam kitab al-Ikhtiyar, salah satu kitab Mazhab Hanafi,
disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain kecuali
wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul
syahwat. Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau
menambahkan dengan kaki, karena pada yang demikian itu ada
kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal
wajahnya ketika bermuamalah dengan orang lain, untuk
menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena tidak adanya
orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.
Beliau berkata: Sebagai dasarnya ialah firman Allah, "Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya." (an-Nur: 31 )
Para sahabat pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud
ayat tersebut ialah celak dan cincin, yaitu tempatnya
(bagian tubuh yang ditempati celak dan cincin). Hal ini
sebagaimana telah saya jelaskan bahwa celak, cincin, dan
macam-macam perhiasan itu halal dilihat oleh kerabat maupun
orang lain. Maka yang dimaksud disini ialah 'tempat
perhiasan itu,' dengan jalan membuang mudhaf dan menempatkan
mudhaf ilaih pada tempatnya.
Beliau berkata, adapun kaki, maka diriwayatkan bahwa ia
bukanlah aurat secara mutlak, karena bagian ini diperlukan
untuk berjalan sehingga akan tampak. Selain itu, kemungkinan
timbulnya syahwat karena melihat muka dan tangan itu lebih
besar, maka halalnya melihat kaki adalah lebih utama.
Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah aurat untuk
dipandang, bukan untuk shalat.1
MAZHAB MALIKI
Dalam syarah shaghir (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir
yang berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan:
"Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing, yakni yang
bukan mahramnya, ialah seluruh tubuhnya selain wajah dan
telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat."
Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya,
katanya, "Maksudnya, boleh melihatnya, baik bagian luar
maupun bagian dalam (tangan itu), tanpa maksud
berlezat-lezat dan merasakannya, dan jika tidak demikian
maka hukumnya haram."
Beliau berkata, "Apakah pada waktu itu wajib menutup wajah
dan kedua tangannya?" Itulah pendapat Ibnu Marzuq yang
mengatakan bahwa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur.
Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan tangannya
hanya si laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini
adalah pendapat yang dinukil oleh al-Mawaq dari 'Iyadh.
Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah antara
wanita yang cantik dan yang tidak, yang cantik wajib
menutupnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.2
MAZHAB SYAFI'I
Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi'iyah, pengarang kitab
al-Muhadzdzab mengatakan:
"Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat,
kecuali wajah dan telapak tangan - Imam Nawawi berkata:
hingga pergelangan tangan - berdasarkan firman Allah 'Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya.' Ibnu Abbas berkata, 'Wajahnya dan
kedua telapak tangannya.'3
(Bagian 1/6, 2/6, 3/6, 4/6, 5/6, 6/6)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
Comments