Pertanyaan
Anak yang lahir prematur harus memerlukan perawatan tersendiri
dalam suatu jangka waktu yang kadang-kadang lama, sehingga air
susu ibunya melimpah-limpah.
Kemudian si anak mengalami kemajuan sedikit demi sedikit meski
masih disebut rawan, tetapi ia sudah dibolehkan untuk minum
air susu. Sudah dimaklumi bahwa air susu yang dapat menjalin
hubungan nasab dan paling dapat menjadikan jalinan kasih
sayang (kekeluargaan) adalah air susu manusia (ibu).
Beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang sedang
menyusui agar bermurah hati memberikan sebagian air susunya.
Kemudian susu itu dikumpulkan dan disterilkan untuk diberikan
kepada bayi-bayi prematur pada tahap kehidupan yang rawan ini,
yang kadang-kadang dapat membahayakannya bila diberi susu
selain air susu ibu (ASI).
Sudah barang tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari
puluhan bahkan ratusan kaum ibu, kemudian diberikan kepada
berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus bayi prematur, laki-laki
dan perempuan ... tanpa saling mengetahui dengan jelas susu
siapa dan dikonsumsi siapa, baik pada masa sekarang maupun
masa mendatang.
Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni
tidak langsung menghisap dari tetek.
Maka, apakah oleh syara' mereka ini dinilai sebagai saudara?
Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia turut andil
dalam menghidupi sekian banyak jiwa anak manusia?
Jika mubah dan halal, maka apakah alasan yang
memperbolehkannya? Apakah Ustadz memandang karena tidak
menetek secara langsung? Atau karena ketidakmungkinan
memperkenalkan saudara-saudara sesusuan --yang jumlah mereka
sangat sedikit-- dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya
jumlah sedikit yang sudah membaur itu tidak mungkin dilacak
atau diidentifikasi?
Jawaban
Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du.
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya bank air susu
ibu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang
baik dan mulia, yang didukung oleh Islam, untuk memberikan
pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab
kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi
yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
Tidak disangsikan lagi bahwa perempuan yang menyumbangkan
sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah
ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi
manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika ia
tak berkenan menyumbangkannya, sebagaimana ia diperbolehkan
mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash
Al-Qur'an serta contoh riil kaum muslim.
Juga tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang
pengumpulan "air susu" itu --yang mensterilkan serta
memeliharanya agar dapat dikonsumsi oleh bayi-bayi atau
anak-anak sebagaimana yang digambarkan penanya-- patut
mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh
pahala.
Lalu, apa gerangan yang dikhawatirkan dibalik kegiatan yang
mulia ini?
Yang dikhawatirkan ialah bahwa anak yang disusui (dengan air
susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah, dan
akan menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang
suatu ketika hendak menikah dengan salah seorang dari
putri-putri bank susu itu. Ini yang dikhawatirkan, bahwa
wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu dia
tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja
yang menyusu bersamanya dari air susu yang ditampung itu.
Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut
serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank susu tersebut, yang
sudah tentu menjadi ibu susuannya. Maka haram bagi ibu itu
menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri
ibu tersebut, baik putri itu sebagai anak kandung (nasab)
maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi pemuda itu
menikah dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena
mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula baginya menikah
dengan putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya
dengan wanita lain --menurut pendapat jumhur fuqaha-- karena
mereka adalah saudara-saudaranya dari jurusan ayah ... serta
masih banyak masalah dan hukum lain berkenaan dengan susuan
ini.
Oleh karena itu, saya harus membagi masalah ini menjadi
beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas.
Pertama, menjelaskan pengertian radha' (penyusuan) yang
menjadi acuan syara' untuk menetapkan pengharaman.
Kedua, menjelaskan kadar susuan yang menjadikan haramnya
perkawinan.
Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan.
Pengertian Radhn' (Penyusuan)
Makna radha' (penyusuan) yang menjadi acuan syara' dalam
menetapkan pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha
--termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, dan Imam Syafi'i-- ialah segala sesuatu yang
sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan
cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu
menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan), bahkan
mereka samakan pula dengan jalan as-sa'uth yaitu menuangkan
air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang
berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan lewat dubur
(anus).
Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa'ad, yang
hidup sezaman dengan Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan
beliau. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat
dari Imam Ahmad.
Al-Allamah Ibnu Qudamah menyebutkan dua riwayat dari Imam
Ahmad mengenai wajur dan sa'uth.
Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad
dan sesuai dengan pendapat jumhur ulama: bahwa pengharaman itu
terjadi melalui keduanya (yakni dengan memasukkan susu ke
dalam perut baik lewat mulut maupun lewat hidung). Adapun yang
melalui mulut (wajur), karena hal ini menumbuhkan daging dan
membentuk tulang, maka sama saja dengan menyusu. Sedangkan
lewat hidung (sa'uth), karena merupakan jalan yang dapat
membatalkan puasa, maka ia juga menjadi jalan terjadinya
pengharaman (perkawinan) karena susuan, sebagaimana halnya
melalui mulut.
Riwayat kedua, bahwa hal ini tidak menyebabkan haramnya
perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan.
Disebutkan di dalam al-Mughni "Ini adalah pendapat yang
dipilih Abu Bakar, mazhab Daud, dan perkataan Atha'
al-Khurasani mengenai sa'uth, karena yang demikian ini bukan
penyusuan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya hanya mengharamkan
(perkawinan) karena penyusuan. Karena memasukkan susu lewat
hidung bukan penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama
saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh."
Sementara itu, pengarang al-Mughni sendiri menguatkan riwayat
yang pertama berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan
oleh Abu Daud:
"Tidak ada penyusuan1 kecuali yang membesarkan tulang
dan menumbuhkan daging"
Hadits yang dijadikan hujjah oleh pengarang kitab al-Mughni
ini sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan
kalau direnungkan justru menjadi hujjah untuk menyanggah
pendapatnya. Sebab hadits ini membicarakan penyusuan yang
mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas)
dalam pembentukan anak dengan membesarkan tulang dan
menumbuhkan dagingnya. Hal ini menafikan (tidak
memperhitungkan) penyusuan yang sedikit, yang tidak
mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali atau dua kali
isapan, karena yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan
tulang dan menumbuhkan daging. Maka hadits itu hanya
menetapkan pengharaman (perkawinan) karena penyusuan yang
mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena itu,
pertama-tama harus ada penyusuan sebelum segala sesuatunya
(yakni penyusuan itu merupakan faktor yang utama dan dominan;
Penj.).
Selanjutnya pengarang al-Mughni berkata, "Karena dengan cara
ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama --jika dilakukan
melalui penyusuan-- serta dapat mengembangkan tulang dan
menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu
wajib disamakan dengan penyusuan dalam mengharamkan
(perkawinan). Karena hal itu juga merupakan jalan yang
membatalkan puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia juga
merupakan jalan untuk mengharamkan perkawinan sebagaimana
halnya penyusuan dengan mulut."
Saya mengomentari pengarang kitab al-Mughni rahimahullah,
"Kalau 'illat-nya adalah karena mengembangkan tulang dan
menumbuhkan daging dengan cara apa pun, maka wajib kita
katakan sekarang bahwa mentransfusikan darah seorang wanita
kepada seorang anak menjadikan wanita tersebut haram kawin
dengan anak itu, sebab transfusi lewat pembuluh darah ini
lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi
hukum-hukum agama tidaklah dapat dipastikan dengan
dugaan-dugaan, karena persangkaan adalah sedusta-dusta
perkataan, dan persangkaan tidak berguna sedikit pun untuk
mencapai kebenaran."
Menurut pendapat saya, asy-Syari' (Pembuat syariat) menjadikan
asas pengharamnya itu pada "keibuan yang menyusukan"
sebagaimana firman Allah ketika menerangkan wanita-wanita yang
diharamkan mengawininya:
"... dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara
perempuanmu sepersusuan ..." (an-Nisa': 23)
Adapun "keibuan" yang ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk
semata-mata karena diambilkan air susunya, tetapi karena
menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga
melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak.
Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan.
Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain
itu mengikutinya.
Dengan demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang
dipergunakan Syari' di sini. Sedangkan lafal-lafal yang
dipergunakanNya itu seluruhnya membicarakan irdha' dan
radha'ah (penyusuan), dan makna lafal ini menurut bahasa
Al-Qur'an dan As-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu
memasukkan tetek ke mulut dan menghisapnya, bukan sekadar
memberi minum susu dengan cara apa pun.
Saya kagum terhadap pandangan Ibnu Hazm mengenai hal ini.
Beliau berhenti pada petunjuk nash dan tidak melampaui
batas-batasnya, sehingga mengenai sasaran, dan menurut
pendapat saya, sesuai dengan kebenaran.
----------------------- (Bagian 1/2, 2/2)
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
Comments